Iklan

Gelombang yang Berlabuh


Gelombang yang Berlabuh

oleh kompas

Lempeng tektonik adalah batuan pegunungan yang padat, besar, dan kaku melakukan proses pembentukan corak topografi yang besar di muka Bumi. Bumi yang tampak padat ini sebenarnya terdiri dari beberapa lempeng tektonik membalut planet Bumi layaknya cangkang telur rebus yang merekah. Lempeng-lempeng tektonik ini secara berkesinambungan bergerak tanpa henti, mengalami proses perusakan dan pembangunan secara silih berganti, mendorong, menggilas, saling menindih.
Gerakan tunjaman dalam jarak waktu 200 tahun mencapai klimaksnya dan mendapat reaksi dari lempeng yang ditunjam. Itulah yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 07:58:53 di ujung Pulau Sumatera, tempat di mana dua lempeng tektonik bertemu, di dasar kerak samudra. Patahan (sesar) naik ditambah dengan kemungkinan gerakan bukaan atau rekahan lantai samudra menimbulkan gempa berkekuatan 9 skala Richter. Lantai samudra yang patah menyebabkan kestabilan air laut terganggu secara vertikal maupun horizontal. Serapan ruang kosong yang tercipta menyurutkan air di pantai. Kedua lempeng tektonik yang bergeser dalam prosesnya menyesuaikan keberadaannya kembali. Air samudra yang masuk ke dalam celah disemburkan kembali saat ruang menutup. Terciptalah gelombang besar setinggi puluhan meter menuju pantai, secepat pesawat B747, di saat orang masih banyak terlelap setelah melewatkan malam Minggu yang panjang.
Gelombang itu bernama tsunami. Gelombang yang berlabuh. Pembunuh yang tak pernah gagal. Cut Putri dari lantai dua rumah pamannya, Said Huseini, di Nanggroe Aceh Darussalam, mengabadikan detik-detik datangnya gelombang. Hasyim menyambung pemandangan duka itu melintas di depan Masjid Baiturrahman, mengabadikan lidah ombak mengusung puing bangunan, kendaraan roda empat, dan jasad manusia.
Kedua pemberani itu memungkinkan aku bisa melihat peristiwa itu di Depok. Pencapaian yang luar biasa. Dan itu bukanlah unsur kebetulan.
Ketika surut, gelombang itu menyemai ratapan. Hampir 300.000 jiwa melayang. Jumlah yang kemudian membikin duka dunia. Bantuan dan pertolongan berdatangan dari pelosok dunia. Televisi memperlihatkan semua itu kepadaku, kepada seorang pengarang cerita pendek yang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyimak tragedi bencana alam itu, dari waktu ke waktu, dari hari ke hari.
Banyak yang bisa dituai di sana. Tergantung kau dari jenis yang mana? Pengisi Surga, atau Pengisi Neraka. Apakah negarawan, politikus, pengusaha, penganjur kebaikan, penyair, pengarang, bermunculan di sana mengusung misi mulia. Walau tak jarang ada pula yang sekadar cengengesan melakukan tamasya duka. Dan: Menjarah! Menjarah harta. Menjarah perhatian. Menjarah popularitas. Kulihat semua itu ditayangkan mereka di televisi.
Aku sempat menangis melihat ada orang tertangkap basah dengan muka lebam dihajar petugas. Ya Allah, kataku dengan titik air mata, manusia macam apa yang Engkau tinggalkan di zaman kami ini, di negeri yang aku cintai ini. Maling pun Engkau kirim ke tempat duka semacam itu. Engkau biarkan mereka memasukkan tangan ke dalam baskom, menyurukkannya ke bawah serbet penutup, meraup uang selawat, di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ini adalah gambaran nasib bangsa kami. Maling-maling Engkau biarkan mengurus bangsa kami. Aku selalu bertanya kepada-Mu, dalam doaku: Kalau ini juga tidak benar, kapan lagi Engkau beri kami pemimpin-pemimpin yang benar? Jangan azab kami menunggu lima tahun yang melelahkan.
Aku duduk di halaman kedai kopi. Angin berembus membawa sejuk pagi. Merbah terbang di ujung ranting, mencari buah pohon seri yang ranum. Celah daun tersibak. Matahari terlindung di balik puncak menara Baiturrahman.
Inilah sarapan pagi di luar hotel. Secangkir kopi, tiga potong pisang goreng, sepiring kecil ketan hitam dengan taburan parutan kelapa. Kututup sarapan pagi itu dengan sebatang rokok.
Seperti menuju masjid, subuh tadi, aku kembali ke hotel berjalan kaki. Kunjungan singkat di Banda Aceh. Inilah saat yang bisa kudapat dalam sejarah hidupku, shalat subuh berjemaah di Baiturrahman dan sarapan pagi di luar hotel. Setelah itu, kurasa sulit datang ke Banda Aceh. Pertikaian bersenjata tak kunjung selesai.
Di lobi, seorang lelaki berdiri dari sofa, menyongsong kedatanganku. Dia adalah penyair besar dari ujung Pulau Sumatera.
”Penyair besar yang tak pernah gemuk! Ke mana saja kekayaan bumi kalian?” Dia senyum dan menyampaikan maksud: mengundang makan siang ke rumahnya, di Kajhu, Aceh Besar.
Aku disambut banyak pemuda dan gadis remaja. Istrinya masih muda, menggendong anak perempuan berkepang dua, memakai pita. Kami masuk ke ruang tamu. Tak ada hiasan di dinding, kecuali ayunan rotan tersangkut. Tali ayunan menjuntai di kaso. Di bawahnya hidangan santap siang sudah tersedia.
Kami diajak ke belakang rumah. Berjalan di atas dua keping papan. Di bawah langkah kami berkeliaran kepiting pantai. Kami menuju tempat berangin-angin.
”Aku suka laut. Aku suka deburan ombak. Itu yang menimbulkan inspirasi bagiku. Angin samudra mengabarkan pesan untuk ditulis. Terkadang aku melempar pancing dari sini, bila pasang.”
”Abang tak suka laut. Gelombangnya menelan perahu Ayah. Mak menunggu berhari-hari di pantai. Ayah tak pernah pulang.”
”Bacakan puisimu untuk Abang,” teriak seseorang. Kami bertepuk dan bergeser membentuk ruang. Dia berdiri. Kami melihat dia, juga melihat laut di belakangnya.
”Aku heran, bagaimana engkau melewatkan malam-malam di sepanjang hidupmu dengan suara semacam itu?”
Perempuan itu mendengar ucapan itu sambil berbaring di tempat tidur, meletakkan tubuhnya yang lelah. Dia tidak tanggalkan pakaian pengantin dari tubuhnya. Si lelaki yang sekarang telah menjadi suaminya memandang perempuan itu.
”Suara apa yang engkau maksud?”
”Deburan ombak di karang.”
”Aku tidak terganggu. Deburan itu sudah menjadi senandung pengantar tidur, bagiku.”
”Aku terganggu!”
”Engkau hanya belum terbiasa. Malam ini, malam pertama engkau menginap di sini. Di rumah kekasihmu. Di rumah istrimu sekarang.”
”Aku sangat terganggu. Mau rasanya aku mengambil kapas, menyumbat telinga ini. Malam pengantin kita dirusak terpaan golombang itu. Tak ada sunyi di sini.”
”Engkau tak bisa menjadi orang pantai. Engkau pernah dengar, orang dilahirkan di perahu, dibesarkan di perahu. Dalam kampung terapung.”
Lelaki itu tidak hiraukan perkataan istrinya. Dia mungkin sedang tertarik pada sampulnya, atau mungkin pada judulnya.
”Sampah Bulan Desember. Sudah engkau baca buku ini?”
”Bagaimana aku sempat membacanya? Buku itu saja baru kita keluarkan dari kertas kadonya.”
”Maksudku, engkau sudah pernah membacanya di perpustakaan kampus?”
”Pengarang buku itu, kata Ayah, pernah datang kemari ketika aku masih dalam ayunan. Kata Mak, aku menyambut kunjungannya dengan garis air di bawah ayunan. Mak menggendongku. Menyangkutkan ayunan di dinding dan mengepel garis air itu dengan karbol. Mak mengembangkan tikar rotan dan meletakkan hidangan santap siang di situ. Ayah gembira dan puas. Pengarang itu makan dengan lahap. ’Gulai pakis dan santan durian. Orang Jakarta. Mereka tak pernah bisa melupakan lidah masa lalunya.’ Ayah dan Mak mengenang semuanya, saat Pak Pos mengantar sebuah paket. ’Mala menyambut pengarang itu dengan garis air di bawah ayunan’. ’Apa maksudnya, Mak ?’ tanyaku. Mak menjelaskannya. Dan aku tertawa.”
Lelaki itu tidak tertarik dengan cerita istrinya. Dia berdiri dari tempat tidur. Dia pergi ke jendela. Mungkin dia ingin melihat laut. Tetapi dia tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan. Angin masuk membawa bau garam. Buru-buru daun jendela dia tutup.
”Kalau adat membolehkan, malam pengantin ini ingin kupindahkan ke tempat yang sepi, jauh dari deburan itu.” Tak ada jawaban. Dia alihkan perhatian ke buku itu. Mengapa dia tiba-tiba begitu tertarik.
”Sampah Bulan Desember. Mengapa Desember?” Dia tersenyum. ”Mengapa ia ditulis? Mengapa tidak Mei? Juni? Atau Agustus?” Seakan diganggu judul buku itu, dia meneruskan ocehannya. ”Tapi mungkin, itulah istimewanya Desember. Bulan yang ditunggu-tunggu orang di seluruh dunia. Bulan yang bisa mengubah tahun setelah angka 31 di kalender.” Dia senyum. Mungkin dia senyum karena dia berpikir begitu. ”Semisal pementasan,” katanya ditujukan kepada si istri, ”tahun adalah lakon. Desember adalah aktor terakhir dalam sebuah pertunjukan waktu. Dan, sebentar lagi layar akan ditutup. Akan muncul lakon baru penghias dinding. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Desember akan digantikan Januari. 2004 akan digantikan 2005.” Dia tampak seperti menghitung dengan jari. ”Tinggal enam hari lagi, Mala.” Dia melihat jam tangannya: ”Oh, tidak. Usia Desember sudah tinggal lima hari lagi. Sekarang sudah pukul 01:45. Berarti ini sudah Minggu. Minggu, 26 Desember 2004.” Dia menoleh kepada istrinya. ”Engkau sudah tidur rupanya, Malahayati.”
Dia angkat kaki istrinya yang terjuntai. Disempurnakannya letak berbaring perempuan itu. Dipandangnya istrinya yang sudah lama terlelap karena lelah. Dibiarkannya perempuan itu tidur pulas. Sehari penuh menyambut tamu. Dia tidak ingin mengganggunya. Malam-malam lain masih ada. Masih panjang kehidupan bersamanya. Barangkali dia berpikir seperti itu. Dia senyum memandang istrinya yang tidur pulas masih dalam pakaian pengantin. Dia perhatikan dari kepala hingga ke kaki. Baru kali ini dalam masa bergaul menjalin cinta dia melihat wanita itu tidur lelap di atas ranjang. Apalagi malam ini, kekasihnya itu, tidur dengan pakaian pengantin adat negerinya. Sanggul masih tertata rapi dengan hiasan emas murni tiga tusuk konde bungong keupula. Kerabu bungong matauroe di kedua daun telinga. Kalung lhee lapeh limong suson dengan mainan bungong meulu dan taloe gulee. Gelang pucok reubong di kiri dan kanan tangan yang seluruh ujung jarinya berwarna merah inai.
Semula ada gerak ingin membuka semua itu, tetapi gerak itu tidak berlanjut. Barangkali dia tak ingin wanita itu terbangun. Melihat semua itu, masih juga dia tersenyum. Perempuan Aceh tidur dengan pulasnya mengenakan pakaian pengantin dan perhiasan begitu lengkap.
Dia beranjak ke dekat pintu. Ditekannya alat pemadam lampu. Kamar pengantin itu menjadi gelap. Pelan-pelan dia rebahkan dirinya di samping wanita itu, sambil berusaha melupakan suara gelombang yang terus-menerus menghantam karang. Akhirnya dia tertidur juga dengan pulas.
Kamar pengantin itu hanya diterangi lampu meja. Cahayanya yang redup tersekap kap penutupnya. Di dinding ruang tengah, jam berdentang dua kali.

Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini


Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini


 oleh kompas

Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan berlalu, tapi ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar akan datang. Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang…
Alangkah menenteramkan membayangkan kematian yang nyaman seperti itu. Tak ada darah membuncah dari kepala pecah. Atau erang kesakitan leher digorok. Ia memejam, mengusir bayangan buruk itu. Bayangan kematian penuh darah. Ah, ia bisa mencium bau amis darah itu, seperti lengket di hidungnya!
Segera ia mandi, keramas. Menyisir rambut dan memotong kuku, sembari bersiul-siul kecil. Rasanya segar mendapati suasana yang sudah serba bersih, rapi, dan wangi. Tak ada lagi serakan puntung rokok atau tumpukan pakaian kotor mengonggok di pojok. Setiap menjelang Ramadhan, ia selalu membersihkan kamar kontrakannya. Saat Ramadhan kemarin, ia malah mengecat ulang dinding-dindingnya. Dan tadi, ia sudah menjemur kasur bantal yang lembab apak berjamur. Melipat selimut. Merapikan pakaian. Menyemprotkan pewangi ruangan. Ia lakukan itu setiap kali menyambut Ramadhan—seakan ia menyiapkan upacara kecil menyambut kematian…
Ia berdiri di ambang pintu, memandang langit siang yang terang, sembari terus bersiul- siul ringan.
>diaC<
Beberapa tetangga—yang tengah duduk menggerombol— memandang ke arah laki-laki yang bersiul-siul itu, dan segera saling bisik. Anak-anak yang sedang bermain seketika berhenti, mengerut menatap laki-laki itu. Langsung, seorang perempuan tergopoh menarik anak-anak itu menjauh. Kemunculan laki-laki itu selalu menimbulkan ketidaknyamanan.
Ia jarang berada di kamarnya. Seperti selalu menghilang. Berhari-hari. Kadang berbulan-bulan. Bila pulang, ia mendekam dalam kamarnya yang selalu tertutup. Sesekali, beberapa tetangga melihatnya keluar tengah malam. Bergegas. Memakai jaket kulit hitam. Menenteng koper besar, seperti kotak tempat menyimpan gitar. Ada yang bilang ia seorang pemusik yang main di sebuah bar. Entahlah. Sebab, banyak yang sering melihatnya duduk-duduk menenggak tuak di pelacuran bawah jembatan. Mungkin ia rampok. Lihat saja tampang seramnya. Tato di lengan kanan. Parut luka seputar pundak, seperti bekas bacokan. Tapi ada yang pernah melihatnya jualan es cendol saat ada demonstrasi menentang kenaikan harga BBM—matanya jelalatan, seperti mengawasi. Mungkin intel. Dan seseorang yang sering ikut demonstrasi bayaran beberapa kali melihat laki-laki itu ikut teriak-teriak menuntut pembebasan mantan menteri yang didakwa korupsi. Tetangga yang jadi tukang ojek pernah secara tak sengaja berpapasan dengannya: rapi berdasi mirip sales obat kuat. Para tetangga penasaran menyimpan dugaan. Sikapnya yang dingin membuat para penghuni rumah petak tak pernah berani bertanya. Ia seperti tak mau dikenali. Menutup diri. Misterius. Aneh.
Seperti kebiasaannya itu: berdiri membisu, memandang entah apa. Rutin yang ganjil. Menjelang Ramadhan ia muncul. Beres-beres kamar. Pintu jendela yang biasanya tertutup dibuka lebar. Sepanjang malam mondar-mandir dalam kamar. Mungkin sedang menyiapkan makanan buat sahur.
Tapi mereka tak yakin kalau laki-laki itu puasa. Sering, ia terlihat merokok siang hari. Tiap sore ia keluar. Bukan ke masjid mendengarkan pengajian dan buka puasa bersama, tapi pergi ke kuburan. Ini yang membuat kian penasaran. Sampai kemudian beberapa orang tahu: laki- laki itu ternyata sudah membeli kapling kuburan buat dirinya! Juru kunci bercerita, betapa ia sering melihat laki-laki itu mencabuti rumput, menyapu, atau berdiri termangu memandangi kapling makam itu. Seperti seorang yang tengah menziarahi kubur sendiri. Dan orang-orang merinding mendengarnya.
Para tetangga jadi gelisah. Barangkali ia dukun. Bisa-bisa ia mencabuli gadis di sini. Atau ia lagi menyempurnakan ilmu hitam? Kuduk mereka meremang. Sering mereka mendengar erang panjang dari kamar laki-laki itu…
>diaC<
Mayat-mayat yang melepuh gosong terbakar itu muncul dari liang kelam. Seperti iblis yang marah karena diusir dari neraka, mereka mendengis bengis. Mengepungnya. Kulit wajah mayat- mayat itu meleleh, seperti lilin panas mencair. Ia mengerang, mengenali beberapa wajah remuk rusak itu. Wajah-wajah orang yang pernah dibunuhnya. Wajah mahasiswa yang ketakutan ketika ia pelan-pelan mengerat ibu jarinya. Wajah pucat perempuan simpanan yang lehernya ia sayat. Wajah tirus gadis kecil berpita merah yang seketika bersimbah darah ketika ia membantai keluarganya. Wajah- wajah yang membuatnya mengerang panjang.
Ia tergeragap bangun. Mimpi terkutuk! Mimpi yang membuatnya ingin mati. Mati dengan tenang, di bulan Ramadhan. Meski ia tahu, sebagai seorang pembunuh bayaran, ia bisa saja menghadapi kematian yang paling buruk. Mungkin, seorang pembunuh bayaran lain pada suatu malam akan menyergapnya—dan ia meronta melawan tapi tak berdaya. Ia terkapar, memandang pembunuh itu berdiri menyeringai menikmati saat-saat paling mengasyikkan ketika seorang korban mengejang mati pelan-pelan.
Ia pun suka menikmati saat- saat seperti itu. Itulah kenapa ia paling suka membunuh pakai pisau belati. Membuatnya bisa lebih dekat dengan wajah sekarat orang yang mesti dihabisinya. Ada kenikmatan yang membius setiap kali menyaksikan urat-urat di leher korban pelan-pelan berubah menjadi lebih lembut kehijauan. Seperti menyaksikan kematian mengecup pelan-pelan…
Sejak kecil ia suka menikmati saat-saat merasakan aroma maut seperti itu. Ia selalu ingin berada sangat dekat, setiap kali kakeknya menyembelih ayam. Ia tak suka bila ibunya bercerita putri-putri jelita dan para pangeran yang hanya sibuk berpesta. Ia lebih menyukai dongeng makhluk-makhluk seram penghuni hutan. Kisah para raksasa penyantap manusia. Ia senang membayangkan memenggal kepala para raksasa itu. Umur tujuh tahun, diam-diam ia membunuh kucing pamannya. Saat SMP ia berkali-kali berkelahi, membuat lawan-lawannya bonyok nyaris mati. Ia terkenal sebagai bocah tangguh jago kelahi. Kamu pantas jadi tentara, kata teman-temannya. Dan ia membusung bangga.
Memang, ia suka membayangkan diri jadi tentara. Di kampungnya, orang yang jadi tentara sangat ditakuti. Ia pernah melihat seorang tentara mengajar tukang parkir, saat ada keramaian pasar malam di alun-alun kecamatan. Orang- orang mengerubung, tak ada yang berani menghentikan. Alangkah hebatnya jadi tentara, bisa memukuli orang sepuasnya. Ia pun mendaftar jadi tentara. Dikirim ke medan perang. Ia paling senang ketika harus menyiksa para pemberontak. Ia melaksanakan penyiksaan dengan tenang, tertib, dan disiplin. Dan itu disukai komandannya.
”Kamu punya bakat bagus. Percuma kalo cuma jadi tentara. Paling mentok jadi sersan,” kata komandannya. Lalu sepulang perang, ia diberinya pekerjaan. Pekerjaan yang tak terlalu sulit: cuma menghabisi istri seorang pejabat, karena pejabat itu pingin kawin lagi. Lalu beberapa order ringan lainnya. Membunuh seorang pengusaha. Menghabisi seorang wartawan. Seorang hakim. Ia menikmati bayaran yang lumayan. Benar kata komandannya. Penghasilan pembunuh bayaran lebih baik ketimbang gaji sersan.
Rezekinya lancar sebagai pembunuh bayaran. Ia sudah membeli rumah buat hari tua. Tapi selama ini ia lebih memilih tinggal di sepetak kamar kontrakan. Tempat menyembunyikan diri. Sumpek bau comberan. Tapi membuatnya merasa aman. Lagi pula ia bisa mengatasi kecurigaan tetangga. Ia akan tinggal di rumahnya, nanti bila sudah berhenti.
Selalu ia mengangankan usia tua yang tenang. Ia kenal beberapa mantan pembunuh bayaran yang menderita di masa tuanya. Beberapa mati dalam penjara. Beberapa menderita sakit jiwa.
>diaC<
Sampai satu peristiwa membuat segalanya jadi tak seperti yang ia angankan.
Pesan itu singkat dan jelas: bunuh Kiai Karnawi. Dan ia mulai mengawasi. Beberapa kali ia menguntit ketika kiai itu memberi pengajian. Ia amati raut tua Kiai Karnawi. Kulitnya yang coklat resik. Rahang terkesan pipih, membuatnya makin terlihat tua dengan jenggot panjang putih bersih. Sorot matanya tenang. Bicaranya santun. Ia heran, kenapa orang seperti itu dianggap membahayakan negara dan mesti dilenyapkan? Dianggap memimpin para militan? Tapi itu bukan urusannya. Tugasnya hanya membunuh. Tanpa jejak. Biar nanti bisa direkayasa: Kiai Karnawi mati kecelakaan…
Ia menunggu Kiai Karnawi selesai memberi pengajian. Ia tak terlalu menyimak. Sepotong- sepotong mendengar kiai itu bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah orang yang mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan ialah mati yang mulia. Dan ia tersenyum. Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan mendapatkan kemuliaan bila mati di bulan Ramadhan?
Semua sudah sesuai rencana. Ia berhasil menyamar sebagai sopir colt omprengan yang akan membawa pulang Kiai Karnawi. Ia merasa segalanya akan berjalan lebih mudah ketika Kiai Karnawi menolak tiga orang panitia pengajian yang hendak ikut mengantar Kiai Karnawi pulang. Itu lebih menggampangkan rencananya: menyekap kiai itu di tengah jalan, lalu mendorong mobil ke jurang.
Semua berjalan sebagaimana sudah ia perhitungkan. Sampai Kiai Karnawi kemudian bicara tenang, ”Aku tahu, kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu. Karena itulah, aku tadi tak mau ada orang lain yang ikut mengantar. Biar tak banyak korban. Kamu cukup membunuhku, tak perlu repot-repot membunuh yang lain…”
Ia tak tahu, kenapa mobil perlahan berhenti. Ia tak mengeremnya!
”Mari kita turun,” ajak Kiai Karnawi. ”Kamu bisa membunuhku di sini. Tak usah membuangku ke jurang dengan mobil itu. Sayang kan, itu mobil mahal. Nanti bisa dipakai ngompreng bila sampeyan memang berniat pensiun jadi pembunuh bayaran.”
Baru kali ini ia gemetar. Kiai Karnawi minta izin untuk sholat terlebih dulu. ”Setelah itu kamu bisa membunuhku. Tapi tolong, yang pelan. Jangan sampai aku kesakitan ya, hehehe…” Kiai Karnawi terkekeh. Lalu menggelar sajadah. Ia meraba belati. Gemetar tak yakin. Lalu meraba pistol yang ia siapkan sebagai cadangan. Ia bisa menembaknya. Tapi sampai Kiai Karnawi selesai sholat, ia hanya berdiri gamang.
”Sekarang, lakukan tugasmu. Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan. Alhamdulillah. Kalau boleh memilih, aku sih inginnya mati dengan cara enak dan nyaman di bulan Ramadhan. Enggak usah merepotkan sampeyan…,” lalu kembali Kiai Karnawi tertawa ringan.
Ia merasa senja meremang. Yang terjadi kemudian lebih serupa bayang-bayang suram. Terdengar letusan. Senyap. Kelebat bayang burung menyambar. Kemeresek daun jati jatuh. Pelan. Lengking gagak di kejauhan. Dengung jutaan serangga mengepung. Singup. Seperti ada jutaan pasang mata yang mengawasinya dari balik rembang petang. Jutaan pasang mata yang sejak itu terus mengintainya. Berpasang-pasang mata yang mengingatkan pada orang-orang yang telah dibunuhnya, dan kini memburu kematiannya.
Ia mulai diusik gelisah. Ia jadi suka membayangkan kematiannya sendiri. Membuatnya mulai menginginkan kematian yang tenang. Kematian di bulan Ramadhan. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan, kecuali mati di bulan Ramadhan. Ia pun kemudian selalu berharap, diperkenankan mati di bulan Ramadhan.
Dan semoga saja, ia benar-benar mati di bulan Ramadhan ini. Amin.
Yogyakarta, 2005

Bidadari itu Dibawa Jibril



 Bidadari itu Dibawa Jibril

Oleh: A. Mustofa Bisri


Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?! 

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

***Rembang, Akhir Ramadan 1423

Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003