Iklan

Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus






Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf
Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main! Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya, yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal.
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.

Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Syahab




Biografi Ringkas Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Syahab ( ‘Ainu Tarim )


Beliau seorang yang sangat alim,berwibawa dan tawadhu dan Beliau termasuk A’yanil bilad Tariem (Tokoh-tokoh Habaib Tarim). Beliau juga lah yang sering dijuluki Sang “Ainu Tariem” – Matanya Kota Tarim al Ghanna

Usia Beliau sekitar 70-an, putra dari Al-Allamah Habib Muhammad, dan cucu dari Al-Allamah Habib Alwi bin Abdullah bin Shahabuddin, dipercaya telah mencapai maqam atau tingkatan yang sangat tinggi sebagai seorang sufi. Seperti juga ayah, kakek, serta kakek buyutnya, beliau termasuk orang yang dekat dan begitu cinta kepad Rasulullah saw. Sehingga tak ada tindakan-tindakannya yang tidak mengacu pada perilaku Nabi saw. Beliau sering diundang ke Indonesia, melalui para ulama dan habaib,
dan jawaban Beliau selalu;” Saya menunggu perintah saja!’. ( Maksud dari perkataan Beliau ialah menunggu perintah dari ROSULULLAH Saw secara langsung ),karena beliau sering berdialog dengan baginda Rasul Saw.
biasanya didatangi para Ulama yang hendak bepergian berdakwah ke luar negeri untuk minta izin, berpamitan dan memohon doa’ restu. Tak kurang, Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Darul Mustafa, Tarim, yang mencetak Ulama-ulama muda di berbagai negeri, tak bisa tidak, selalu mencium tangan Habib Abdullah sebelum keliling mengunjungi anak muridnya. Jangan harap guru besar ini beranjak sebelum mendapat anggukan kepala Habib Abdullah.
Para ulama dan peziarah, khususnya dari Indonesia, juga belum merasa mantap keliling Hadramaut sebelum mendengarkan kalam dan doa’ Habib Abdullah. Setidaknya mencoba menikmati senyum sang habib dan menerima suguhan teh atau kopi dari rumahnya yang dianggap penuh penuh berkah. Habib Umar bin Hafidz tak mau menyentuh gelas kopi yang disuguhkan; ia hanya mau minum dari sisa minuman di gelas habib yang sangat dimuliakannya itu.
Dimana ketika dijumpai di suatu majelis yang dihadiri oleh habaib Tarim seperti Al Habib Abdullah bin Shahab (Ainu Tariem), Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri, Al Habib Masyhur bin Hafidz, Al Habib Umar bin Hafidz dan yang lainnya, kesemuanya merupakan permata nan indah dari Kota Tarim. Yang kemudian ketika waktu memberikan tausiyah, maka Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, Al Habib Masyhur bin Hafidz tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, Al Habib Umar bin Hafidz tidak akan memberikan tausiyah sebelum Al Habib Abdullah bin Shahab memberikan tausiyah, begitu seterusnya. Beliau begitu dicintai, dihormati, disayangi, dan dikagumi. Sedikit cerita mengenai ahli Tarim yang selalu menandakan akhlak dan ukhuwah dalam setiap apa pun yang dilakukan oleh mereka.
Habib Abdullah tidak melewatkan undangan siapa saja, terutama majlis ilmu, tanpa alasan yang jelas. Apabila beliau hadir, suasana majlis menjadi tampak agung, karena jemaah mendekat, merapat, takut kehilangan bahkan sepatah-dua patah kalam beliau yang sangat berharga, dan mengamini doa-doanya yang dipercaya makbul.
Habib Umar bin Hafidz yang dikenal sebagai jago pidato, akan menyerahkan semua waktunya kepada Habib Abdullah.Beliau di ibaratkan Sang Matahari tunggal didalam suatu majlis.
sumber : http://basaudan.wordpress.com

HABIB HASAN BIN ABDULLAH ASSYATHIRI







Al Maghfurlah Habib Hasan bin Abdullah bin Umar Asy Syathiri, Tarim,Hadramaut-Yaman

لَوْ لاَ اْلمُرَبِّيْ مَا عَرَفْتُ رَبِّيْ

“KALAULAH BUKAN KARENA PENDIDIK NISCAYA AKU TAK MENGENAL TUHANKU”
Nasab beliau
Al Habib As Sayyid Hasan bin Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Ali bin Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Umar bin Alawy Asy Syathiri bin Al Faqih Ali bin Al Qhodi Ahmad bin Muhammad Asadullah fi ardih bin Hasan At Turobi bin Ali bin Al Ustadz Al A’zom Al Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad shohib Mirbath bin Ali Kholi’ qosam bin Alawy bin Muhammad maula as Som’ah bin Alawy maula Sumul bin Ubaidillah bin Al Muhajir ilallah Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidli bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Al Imam As Sajjaad Ali zainal Abidin bin Al Imam Husaein bin Al Imam Ali bin Abi Tholib Putra dari sayyidatina Fatimah Az Zahra putri Rasulullah SAW.
Al Habib Hasan dilahirkan dikota Tarim Hadromaut Yaman Selatan pada tanggal 7 Jumadi ts Tsaniah 1346 H. Beberapa saat setelah kelahirannya, ketika kakek beliau dari jalur ibunya Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Haddad hendak memberinya nama beliau berkata ” Hasan memiliki sirr (rahasia keagungan) Syekh Abu Bakar As Sakran”. Beliau tumbuh dan dibesarkan dikota Tarim, sejak kecil telah diasuh dan dibimbing oleh ayahnya dengan didikan islami di tempat yang lingkungannya sangat baik dan dikawasan pergaulan yang suasananya sangat kental dengan nuansa keilmuan yang penuh dengan keberkahan dizaman yang tampak jelas dinaungi oleh para sholihin dan ulama besar serta terkenal yang mahir dalam bidang ilmu sehingga pada umur yang masih cukup muda yaitu 11 th beliau telah menghapal al Quran seluruhnya, dan beliau banyak mempelajari aneka bidang ilmu seperti: Tafsir Al Quran, Hadits An Nabi SAW, Fiqh Syafi’i, Nahwu (Kaidah Bahasa Arab), Tasawwuf dan lain sebagainya.
Beliau ( Al Habib Hasan ) banyak menimba ilmu dari banyak guru (masyayikh) dizamannya, baik dikota Tarim ataupun yang lainnya dan kebanyakan dari guru-guru beliau adalah para murid utama ayahanda beliau yaitu Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul islam Al Habib Al Qutub Abdullah Asy Syathiri yang merupakan salah seorang Syaikhul Ulama (gurunya para guru) dinegri Hadromaut pengasuh Rubat Tarim yang dengan keberkahan ilmunya telah mencetak lebih dari 13.000 ulama yang tersebar keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Dan diantara guru – guru beliau ( Al Habib Hasan ) selain ayahandanya adalah :
Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab
Al Imam Al Arif billah Al habib Al Qutub Ja’far bin Ahmad Al Idrus
Asy Syaikhul ‘Allaamah Mahfudz bin Utsman Az Zabidi
As Syaikhul ‘Allaamah Salim bin Sa’id Bukaiyir Baa Ghoitsan
Al Imam Al ‘Allamah Al Muhaddits Diyar Haromain As Sayid Alawy bin ‘Abbas Al Maliki Makki Al Hasani
Al Imam Al ‘Allamah Asy Syahid Al habib Muhammad bin Salim bin Hafiidz bin Syeikh Abu bakar bin Salim
Al Habib Al ‘Allamah Umar bin ‘Alawy Al kaaf
Asy Syeikh Umar bin ‘Awad Al Haddad Dan masih banyak lagi guru – guru beliau dan para musnid dan mujiz yang memberikan berbagai macam sanad serta ijazah kepada beliau yang tidak kami sebutkan dalam biografi ( manaqib ) singkat ini.
Dalam asuhan dan didikan ayahandanya yang sangat disiplin, beliau acapkali diajak menghadiri majlis – majlis ilmu dan di setiap penghujung malam beliau diajak ayahandanya pergi ke masjid-masjid Tarim yang berjumlah kurang lebih 360 masjid guna melaksakan qiyam lail ( Sholat sunnah dimalam hari ), dan berziarah ke Zanbal makam Auliya’ dan ‘Inat makam Syeikh Abu Bakar bin Salim. Setiap kali berziarah kemakam Syekh Abu Bakar bin Salim Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri selalu berkata : ” Wahai Syeikh Abu Bakar, sungguh aku telah mendidik dan membimbing putramu Hasan bin Ismail, karena itu kumohon didik dan bimbinglah putraku Hasan”. Tatkala ajal ayahandanya Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri telah dekat dan usia beliau ( Al Habib Hasan ) kala itu sekitar 14 tahun, ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) mengumpulkan seluruh anggota keluarganya seraya berwasiat “Wahai Mahdi… aku serahkan padamu tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini. Wahai Hasan… dan aku serahkan tanggung jawab kepemimpinan Rubath ini setelah kakakmu Mahdi dan jangan pernah kau tinggalkan Al Quran”.
Ayahandanya ( Al Habib Abdullah bin Umar Asy Syathiri ) wafat tatkata Al Habib Hasan sedang mempelajari Tafsir darinya, ketika itu beliau sampai pada tafsir ayat Al Quran, Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Demikianlah isyarat kesempurnaan ilmu beliau yang tersirat lewat ayat tersebut, sebagaimana turunnya ayat ini sebagai tanda telah sempurnanya da’wah Rasulullah SAW pada Haji Wada’.
Kemudian beliau ( Al Habib Hasan Asy Syathiri ) berguru secara khusus kepada Al Imam Al Arif billah Al Habib Al Muhab Al Qutub Alawy bin Abdillah bin Syahab yang memiliki julukan ‘Ain Tarim ( Matanya kota Tarim) sosok berkarisma dan memiliki wibawa serta tegas dalam berkata. Sepenuh jiwa beliau serahkan dirinya kepada Al Habib Alawy guna dididik dan dibina, beliaupun menyambutnya dengan penuh perhatian dan pendidikan yang tiada henti, mengajarkannya cara melatih, mengembangkan dan mengolah jiwa serta bagaimana mematikan sisi buruk jiwa manusia, sehingga mencapai kedudukan Nafs Muthma-innah ( jiwa yang tenang ) guna menjalin keharmonisan dunia dan akhirat.
Beliau sangat menjaga adab ketika duduk dimajlis – majlis ilmu terkhusus dihadapan guru besar beliau Al Habib Alawy bin Abdillah bin Syahab, tidaklah beliau pernah mengangkat kepala beliau, seakan – akan terdapat seekor burung diatas kepalanya, bahkan tidaklah pernah terdengar hembusan nafasnya, hal tersebutlah yang membuat Al habib Alawy bin Syahab begitu sayang terhadap beliau. Pernah satu ketika Al Habib Alawy memuji Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) dengan mengatakan kepada rekan-rekannya :” Hasan bin Abdullah Asy Syathiri adalah putra ruhku”, dan ketika didepan Al Habib Alawy beliau kehabisan suara tatkala sedang membacakan qosidah, Al Habib Alawy berkata: ” Dia perlu diberi gula, tetapi gulanya harus langsung dari Al Faqih Muqoddam”.
Dan dengan perintah serta isyarat dari Al Habib Alawy lah beliau memimpin majlis- majlis ilmu yang dihadiri oleh para Mufti dan Ulama, pada ketika itu beliau masih berusia 17 tahun usia yang sangat muda untuk memimpin majlis yang dihadiri para mufti dan ulama. Dan sungguh merupakan anugrah yang Allah berikan kepada beliau, tatkala beberapa saat sebelum gurunya ( Al habib Alawy bin Abdillah bin Syahab ) wafat, Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) ketika itu dalam keadaan tertidur sedangkan Al Habib Alawy berada dirumahnya .
Dalam tidurnya Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) bermimpi melihat Al Habib Alawy tengah duduk diatas pembaringannya, lalu Al Habib Alawy berkata: “Wahai Hasan…aku akan bangkit dari tempat ini, dan sekarang duduklah engkau ditempatku ini”. Setelah itu Beliau ( Al Habib Hasan AsySyathiri ) terbangun dari tidurnya dan beliau mendengar berita duka wafatnya Al Habib Alawy bin Syahab, dan dari mimpinya tersebut beliau menyadari betul bahwa beliaulah khalifah (pengganti) pelanjut Al Habib Alawy dalam menjaga amanah peradaban kota Tarim. Hal tersebut beliau buktikan dengan tegasnya beliau dalam menentang masuknya paham – paham atau tradisi – tradisi baru yang merubah apa yang telah ditetapkan dan di lestarikan oleh para leluhurnya, dengan penuh wibawa dan ketawadluan beliau mengatakan : “Ini bukan kota ku, ini kota sayyid Faqih Muqoddam, kota para leluhurku, kita tidak berhak merubahnya, jika aku merusaknya dengan merubah tradisi mereka, maka sungguh aku malu berjumpa mereka ketika aku kembali nanti”.
Akhlak, suluk, ilmu dan amal beliau merupakan cermin Ulama salaf ( terdahulu yang berpegang kuat ajaran Rasulullah SAW ) yang terdapat dalam dirinya, membuahkan suri tauladan baik untuk para manusia yang ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW. Itu semua terlukis dengan prilakunya dalam melaksanakan yang fardlu dan sunnah, beliau sangat tawadlu’ ( rendah hati ), welas asih terhadap semua makhluk, tidak senang dengan ketenaran ( popularitas ).
Dalam mendidik dan mengajarpun beliau sangat berpegang teguh pada metode para salaf, memulai dengan yang dasar kemudian sedang lalu yang mendalam. Pendidikan dan ajarannya bukan hanya lewat kata-kata yang beliau ucapkan, melainkan dengan perbuatannya yang sangat terpuji. Diantara akhlak beliau yang sangat welas asih adalah ketika di Rubath ada seorang pencuri yang tertangkap, lalu dipukuli hingga babak belur, saat beliau mendengar hal tersebut beliau pun datang ke Rubat yang saat itu para pelajar sedang menghadiri perkumpulan mingguan guna mendengar nasihat dan peraturan –peraturan yang berlaku di Rubat serta evaluasi – evaluasi pendidikan ilmiyah dan amaliyah yang telah berjalan. Setelah bertanya siapa yang telah memukuli orang tersebut hingga babak belur dan beberapa orang mengaku mengajukan diri mereka beliaupun dengan wajah memerah, suara agak tinggi berkata :” Siapa kalian? Sehingga berhak memukuli orang ini hingga babak belur” diantara mereka ada yang menyahut ” Dia telah mencuri ya Habiib” Beliaupun berkata “Lantas apa dia patut untuk dipukul? Apa dia budak sahayamu? Bukan begitu memperlakukan yang salah wahai anak-anakku”.
Beliau sangat menginginkan kebahagiaan dan kebaikan pada setiap orang terkhusus anak-anak didiknya dan sangat tidak menginginkan keburukan terjadi atau ada pada diri mereka, sehingga tak pernah bosan beliau memberikan peringatan dan semangat lewat nasehat-nasehatnya yang sangat menyentuh qalbu.
Diantaranya beliau mengatakan ” Wahai anakku, makanlah dari hasil usahamu dan jangan kau makan dengan menjual agamamu”, dan ketika salah seorang pelajar yang hendak pulang ke Indonesia meminta wasiat darinya, beliaupun berkata “Perbanyaklah engkau bersujud dan mintalah ikhlas kepada Allah SWT, dan pendamlah dirimu ditempat yang orang tak mengenalmu”. Beliaupun selalu mengatakan ” Janganlah kalian menjadi orang yang banyak disanjung namun engkau memiliki cela yang terselubung”
“Jadikanlah adabmu seperti tepung dan ilmumu laksana garam” “Cinta tak butuh dekatnya jarak namun dekat membutuhkan cinta” “Yaa Ikhwaanii..Wahai saudara-saudaraku.. cukuplah bagi kalian mengamalkan apa yang terdapat didalam kitab Bidayatul Hidayah Milik Al Imam Al Ghozali” “Janganlah kalian sedih dengan mimpi-mimpi buruk yang padahal kalian telah banyak berbuat keta’atan, karena hal tersebut merupakan pendidikan untuk jiwamu, mimpi-mimpi indah tak berarti apa-apa bila seseorang tersebut terlena oleh mimpi dan terus tenggelam dalam ma’siat” “Penuhilah hak-hak orang, dan janganlah kau menuntut hakmu dari mereka, bantulah orang yang meminta bantuan padamu semampumu” ” Kesolehan seseorang tidaklah dilihat dari imamah ( ikat kepala ) yang besaratau sorban yang lebar dan bukan pula kepandaian berbicara diatas mimbar”. Begitu banyak mutiara nasehatnya yang diberikan secara tulus kepada para santri dan orang yang meminta wasiat ataupun nasehat kepada beliau.
Dikisahkan bahwa ketika tubuh beliau terasa sakit, murid tersayangnya pun pergi dan membawa seseorang guna memijat tubuh beliau, ketika pemuda tersebut memegang kaki beliau, beliaupun bertanya ” Siapa namamu? Dari mana asalmu? Dan sudah berapa lama engkau bekerja sebagai tukang pijat di Tarim?” Pemuda itupun menjawab bahwa ia berasal dari Indonesia dan saat ini menetap di Tarim sebagai seorang pelajar. Beliaupun terkejut lalu menegur murid beliau dengan keras seraya berkata “Menyuruh seorang penuntut ilmu yang datang dari jauh untuk memijat adalah sesuatu yang terlarang, itu merupakan pemerkosaan hak yang dosanya amat besar.. Jangan pernah engkau mengulanginya lagi”.
Tatkala beliau mendapat banyak sanjungan dan pujian beliaupun dengan penuh ketawadlu’an ( rendah hati ) berkata “Saya senang tapi saya tidak pernah terlena dengan pujian itu”, beliaupun menegaskan dalam bait-bait qasidah yang beliau buat sendiri dengan ungkapan sebagai berikut “Kalian telah memuliakanku dengan sesuatu yang tidak pernah kuperkirakan, sedang pemilik kemurahan (Allah SWT) selalu memberi melebihi apa yang diperkirakan”
“Ini adalah anugerah yang kuperoleh tanpa bersusah payah untuk mencarinya, itu semata-mata murni karuniaYang Maha Kuasa”.
“Umurku semua habis dalam kesia-siaan yang tidak berguna, begitulah keadaanku seterusnya wahai keluargaku”
“Inilah kebanggaanku, bukan dengan keagungan dan kekayaan. Adapun kekayaan dunia cukup hanya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari”.
Adapun keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau berupa karomah amatlah banyak, diantaranya adalah firasat beliau yang sangat tajam, dimana ketika beliau usai mengadakan pengajian sore dimasjid Babtinah yang terletak berdampingan dengan Rubath, seorang santri yang bersalaman dan mencium tangan beliau, beliaupun memegang tangan pemuda tersebut seraya bertanya “Engkau dari mana?” pemuda tersebut menjawab “dari tempat renang ya Habiib” Habib pun bertanya “Engkau merokok?” pemuda itupun menjawab dengan berbohong “tidak ya habiib, saya tidak merokok” dengan tersenyum beliau berkata “Jangan engkau takut kepadaku wahai saudaraku,takutlah engkau pada Allah” sambil malu malu pemuda itu hanya bisa berkata ” Iya Habib Iya”.
Inilah sekelumit keluhuran budi akhlak, pendidikan dan ajaran serta perjalanan hidup beliau.
Dan beliaupun wafat pada hari Jum’at tepat ketika adzan Jum’at berkumandang tanggal 11 Rabi’ul Awwal 1425H, bertepatan dengan dengan tanggal 30 April 2004M di kota Abu Dhobi Uni Emirat Arab, dan dikebumikan di Zanbal Tarim bersama para leluhurnya.
Demikianlah manaqib singkat ini Al Faqir buat dan bacakan pada saat ini, semoga Allah merahmati kita semua Bijahi hadzannabi wa bibarkati hadzal wali.
sumber : http://basaudan.wordpress.com